Sabtu, 26 Januari 2008

Pelayanan Publik

Reformasi Pelayanan Publik*

Oleh : Andries Lionardo
Staf Pengajar Fisip Unsri. Kandidat Doktor Administrasi Publik Universita Brawijaya Malang


JIKA pemerintah ingin memuaskan rakyatnya, maka hal utama yang harus dilakukan adalah merubah paradigma manajemen pelayanan publik. Paradigma yang selama ini menegaskan bahwa birokrat (pemerintah) yang menjadi majikan yang harus dilayani, wajib diubah menjadi rakyat yang menjadi majikan. Pemerintah harus berperan hanya sekadar sebagai pelayan. Pemerintah harus bertindak reaktif, ketika rakyat menuntut haknya untuk dilayani. Apabila kondisi ini menjadi kenyataan, maka patologi (penyakit) birokrasi, seperti pungutan liar, calo birokrasi, uang pelicin, kolusi, nepotisme atau praktek-praktek deskriminasi layanan lainnya tidak akan bergentayangan dalam urusan birokrasi publik di negara kita ini.
Tentunya, dalam konteks ini perlu dipahami bahwa pemerintah (kepala daerah dan stafnya) harus mampu berperan sebagai aktor deliberatif (fasilitator) kebijakan publik, sehingga kepadanya diharapkan perubahan paradigma ini dimulai dan terjadi. Jika hal ini dapat difungsikan, maka secara top down akan diikuti oleh elemen-elemen lainnya khususnya mereka yang mengemban fungsi sosial di masyarakat, seperti jaksa, hakim, polisi, dosen, guru, dokter, atau bahkan perangkat desa/ketua RT. Kemandekan struktural inilah yang berpuluh-puluh tahun telah menyebabkan sebuah distorsi dan anamoli sistem administrasi publik yang jauh dari konteks kepentingan publik.
Sebuah gagasan yang ingin saya tawarkan dalam tulisan ini adalah bagaimana pemerintah daerah, khususnya di Sumsel sebagai aktor kebijakan harus melakukan perubahan dini tentang orientasi birokrasi yang selayaknya sudah dikonstruksikan, yaitu “berkrakyatan”. Betapa tidak, pilihan itu wajib ditegaskan karena pelayanan publik merupakan aspek yang fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lebih lanjut, kita dapat memahami betapa luasnya ruang lingkup pelayanan publik yang harus diselenggarakan dan direspon secara baik oleh pemerintah dalam memuaskan warga negaranya. Namun disisi lain, masih banyak kita temukan ketidakmampuan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan tersebut secara cepat, efisien dan responsif. Misalnya, kita bisa melihat bagaimana rumitnya prosedur yang dibuat ketika ada masyarakat yang sekarat ingin mendapatkan pelayanan cepat di sebuah Rumah Sakit Daerah atau kita bisa merasakan betapa tidak pastinya waktu dan biaya pelayanan ketika kita berurusan dengan aparatur birokrasi di dinas pemerintahan. Belum lagi, ketika kita melihat bagaimana sulitnya ditemukan keikhlasan bekerja dari oknum aparatur birokrasi dalam melayani. Kondisi ini tentunya yang akan menjadi bumerang bagi birokrasi dan bertolak belakang dengan kebutuhan pelayanan masyarakat yang semakin hari semakin mendesak dan berkembang.
Pada aspek yang dilematis inilah, kebijakan publik diharapkan hadir dalam menuntut peran pemerintah agar melakukan perubahan manajemen pelayanan publik (public service). Meminjam istilah Howlett dan Ramesh (1995), perubahan kebijakan publik dapat mengikuti pola normal atau paradigmatis. Pola normal adalah pola pengambilan keputusan secara kontinyu dan berlangsung tahap demi tahap. Perubahan ini berlangsung relatif kecil, tidak menimbulkan guncangan karena aktor yang terlibat relatif tidak berubah. Sedangkan pola paradigmatis berlangsung secara mendasar dan mengarah kepada perubahan radikal. Menyimak pendapat tersebut, maka untuk merubah paradigma pelayanan publik pemerintah telah dihadapkan dengan pilihan-pilihan publik (public choice) yang selayaknya harus dipilih, dipilah dan dipelajari manfaatnya saat ini dan dimasa yang akan datang. Pilihan kebijakan ini, selayaknya wajib dilaksanakan segera mengingat kita sudah masuk dalam ranah perubahan sistem politik, khususnya adanya proses demokrasi dan otonomi daerah yang sedang berkembang.
Adanya perubahan ini tentunya akan mempermudah pemerintah untuk merubah paradigma pelayanan publik tersebut. Namun, apabila yang terjadi justru munculnya krisis kepemimpinan transaksional dan transformatif maka perubahan paradigma pelayanan tersebut akan selalu mandek dan berjalan di tempat. Menyimak peluang ini, sudah selayaknya demokratisasi yang ditandai dengan adanya pemilihan kepala daerah langsung dapat melahirkan pemimpin daerah yang mampu mengelaborasikan kepentingan publik dalam setiap kebijakan pelayanan yang akan dibuat.
Bukan Monopoli
Saat ini bukanlah saatnya lagi pemerintah melaksanakan monopoli kebijakan pelayanan publik. Kebijakan pelayanan publik seharusnya direkonstruksikan ke arah yang lebih fleksibel, responsif dan tidak bersifat mengatur. Sudah saatnya, pemerintah tidak lagi mengatur dan mengontrol cara berfikir masyarakat. Paradigma pelayanan publik juga jangan dibuat terbalik, belajar dari kebijakan cuti bersama yang dilakukan pemerintah kita bisa melihat betapa manajemen pelayanan publik berhenti untuk melayani masyarakat (Sripo,30/12). Dalam kondisi seperti inilah sebenarnya manajemen pelayanan publik di negeri ini terjerembab dalam paradigma negara kuat, rakyat lemah. Padahal yang diharapkan publik adalah dekonstruksi peran pemerintah dalam memberikan pelayanan wajib publik. Tuntutan ini muncul mengingat brokrasi publik sedang dihadapkan dengan perubahan ekonomi politik, penguatan civil society, good governance dan kebutuhan mendesak publik.
Sebuah solusi yang dapat ditawarkan dalam memahami persoalan ini adalah bagaimana pemerintah, khususnya Provinsi Sumatera Selatan dapat menyadari posisi dan perannya sebagai pelayan masyarakat. Hal ini dapat dimulai dengan penyadaran akan kapasitas dan keterbatasan kemampuan dalam penyediaan pelayanan publik. Karenanya, membangun kemitraan dengan pihak swasta, menciftakan model kebijakan partisipasi publik melalui kontrak pelayanan kepada masyarakat (citizen charter), menciftakan Peraturan Daerah tentang Pelayanan Publik adalah langkah-langkah strategis bagi pemerintah dalam merubah paradigma pelayanan publik yang saat ini masih dirasakan belum berpihak kepada masyarakat. Disamping bahwa reformasi penyelenggaraan pelayanan publik menuntut adanya perubahan secara holistk (menyeluruh). Reformasi pelayanan publik hanya akan tercapai apabila perubahan manajemen pelayanan publik dilakukan secara konsisten dan tidak terkooptasi dengan aspek-aspek lainnya. Perubahan tersebut harus mencakup perubahan struktur, budaya, mindset, sistem insentif, dan pemberdayaan masyarakat sipil sehingga mereka bisa mengontrol secara efektip praktek pelayanan publik. Kegagalan kebijakan pelayanan publik saat ini cenderung kepada upaya perbaikan struktur birokrasi saja, tidak diimbangi dengan upaya perbaikan kinerja pelayanan publik. Oleh karenanya, era demokrasi dan otonomi daerah saat ini haruslah dijadikan momentum perubahan paradigma pelayanan publik, sehingga reformasi pelayanan publik adalah keharusan bagi pemerintah dalam memuaskan dan mensejahterakan rakyatnya.


sumber ; sripo-online.com

Tidak ada komentar: